Kamis, 16 Desember 2010

Review : Diskusi Film Perempuan dan Kekerasan

Rangkaian acara “RASARU Perempuan Menggugat Tabu” dalam rangka memperingati 16 Hari Tanpa Kekerasan dan Hari AIDS Sedunia yang diselenggarakan oleh SPEK-HAM sejak tanggal 30 November 2010 hingga 3 Desember 2010 ditutup dengan diskusi dan pemutaran film yang mengangkat tema “ Kekerasan Terhadap Perempuan”. Acara diskusi dan pemutaran film ini digelar di Gedung Kesenian Solo (GKS) pada hari Jumat, 3 Desember 2010, pukul 10:00 WIB.
Acara dibuka dengan sambutan singkat dari koordinator acara, Petrick Modok, dan kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film “Mengapa Harus Diam?” karya Indri Rahmawati, M Reggi Herlianda, dan Ridho Agung Nugraha. Film berdurasi 17 menit ini bercerita tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Suasana diskusi "Kekerasan terhadap Perempuan" yang digelar di Gedung Kesenian Solo pada Jumat, 3 Desember 2010 lalu. (foto: Ariwan)
Seusai pemutaran film, acara kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang membahas tentang kekerasan terhadap perempuan. Diskusi ini menampilkan narasumber Nila Ayu Puspaningrum dari SPEK –HAM dan Ibu Siti Muslimah, seorang survivor kekerasan terhadap perempuan yang berasal dari Wonogiri. Diskusi ini dipandu oleh Joko Narimo dari GKS. Diskusi berjalan menarik, diawali dengan paparan kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani SPEK-HAM oleh Nila Ayu dan dilanjutan dengan sharing pengalaman oleh ibu Siti Muslimah tentang kasus kekerasan yang pernah dialami oleh keluarganya.
Nila Ayu dari SPEK-HAM mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh SPEK –HAM selama ini lebih banyak didominasi oleh kasus – kasus KDRT.
“ Sebagian besar kasus yang kami tangani merupakan kasus – kasus KDRT dalam berbagai bentuk kekerasan. Ada yang fisik, psikis dan penelantaran ekonomi. “ papar Nila.
Meski demikian, Nila menambahkan bahwa meskipun kasus – kasus kekerasan di luar KDRT tidak terlalu mendominasi, hal tersebut bukan berarti bahwa kekerasan lebih banyak terjadi dalam ranah rumah tangga saja. Apalagi karena kebanyakan kasus kekerasan jarang ada yang terungkap.
“ Masalahnya, banyak yang memilih untuk tidak menceritakan kasus yang dialaminya. Bisa karena malu atau karena diancam oleh pelaku. Jadi sebenarnya banyak kasus yang tidak terungkap.” lanjut Nila.
Sementara itu, Ibu Muslimah dari Wonogiri berbagi cerita tentang kasus kekerasan yang pernah menimpa anaknya. Dengan semangat untuk mencari keadilan, ia bersikeras untuk mendapatkan bantuan menangani kasus kekerasan yang dialami anaknya pada akhir tahun 90an.
“ Saya pernah disuruh mencabut gugatan atas kasus anak saya. Tapi demi mencari keadilan bagi anak saya, saya tetap jalan terus. “ tutur perempuan yang berprofesi sebagai guru ini.
Pada akhirnya, peristiwa yang menimpa anaknya tersebut kemudian membawa Ibu Muslimah ke dalam dunia yang sebelumnya tak dikenalnya, yaitu dunia pendampingan korban kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kini ia menjadi salah satu figur pendamping korban kekerasan yang cukup dikenal di wilayah Wonogiri.
Seusai Ibu Muslimah bercerita, diskusi kemudian dilanjutkan dengan saling melontarkan pendapat, dan berbagi cerita mengenai fenomena kekerasan terhadap perempuan di antara para peserta diskusi. Suasana diskusi yang nyantai membuat para peserta merasa nyaman untuk saling bercerita. Diskusi yang awalnya direncanakan berlangsung selama satu jam pun akhirnya molor hingga hampir dua jam. Setelah jeda istirahat untuk memberi kesempatan para peserta diskusi laki – laki melakukan ibadah sholat Jumat, diskusi kemudian dilanjutkan kembali dan selesai pada pukul 14:00 WIB. (Ariwan K Perdana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar