Kamis, 25 November 2010

Kita Dibaca Media atau Kita Membaca Media ???


Hidup di era modernitas ibarat hidup di dunia yang hilang. Kita adalah kita yang mencari, kita adalah kita yang menjadi. Hampir perilaku atau habitus manusia masa kini senantiasa berfikir, memiliki cara pandang, dan pola pikir yang tak lepas dari cara pandang terhadap apa yang media tawarkan. Kebiasaan yang membawa kita pada dunia yang hilang{the lost world},telah mengakibatkan kita tidak bisa menemukan karakter kita, kebiasaan kita, dan dunia kita sendiri.
            Tanpa sadar, mulai dari fashion, kita sudah disuguhi berbagai fashion dan multi level marketing yang memberikan kita untuk menjadi sesuatu yang lain. Tak hanya itu, fashion tersebut pun didukung lengkap dengan iklan yang serba wuah dan meyakinkan kita selaku konsumen untuk mirip artis A, artis B, model rambut A, model rambut B, dan lain-sebagainya.
            Kebiasaan kita tahu dan faham betul trend masa kini sepertinya tidak membuat kita semakin mengerti diri kita yang sebenarnya, tapi membuat diri kita menjadi hilang tanpa buku pedoman gaya, tanpa buku iklan kecantikan ataupun perawatan tubuh. Tanpa sadar, kita kemudian hidup seperti yang dikatakan oleh Jean Paul Badrillard “kita hidup dalam rimba materi”.
            Rimba materi membawa kita pada sebuah alienasi diri yang menjadikan kita bukanlah diri kita yang sebenarnya. Apa jadinya ketika sejak kecil kita dididik menjadi sosok yang lain dengan melakukan imitasi dan kebiasaan meniru yang membawa kita pada ketidaksadaran akan realitas. Rimba materi menjadikan kita kehilangan esensi kehidupan, filosofi hidup, sehingga kebiasaan-kebiasaan kita yang semu mengantarkan kita pada dunia yang kita bentuk sendiri. Kebiasaan ini bisa kita lihat jelas ketika kita melihat orang di jalan menggunakan headset dan mendengarkan music sambil berjoget asyik mengikuti irama, meski di samping kanan-kiri orang melihatnya sebagai orang yang aneh.
            Realitas lenyap ketika dunia real kita diambil alih oleh sesuatu yang sebelumnya dianggap bukan realitas {fantasi, halusinasi, ilusi},ketika sesuatu yang semu dianggap realitas, ketika realitas maya mengambil alih realitas yang sebenarnya[1]. Ketika diri kita menjadi tak lebih dari sekedar topeng ,sebuah make-up,sebuah halusinasi, sebuah ilusi, maka lenyaplah yang sering disebut identitas diri.
Media dan Intervensi Diri
            Kehadiran media dalam dunia manusia ternyata tidak hanya membawa kemudahan-kemudahan bagi kita, akan tetapi juga membawa kita pada kesimpangsiuran informasi, keriuhan isu , dan ketidakmampuan manusia dalam kepungan media yang dibuatnya. Manusia dalam kepungan media baru adalah kondisi tragis manusia modern dalam kungkungan informasi, kesemuan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Lyotard mengatakan “ciri manusia modern adalah menyukai hal yang tampak di permukaan”.
            Kehadiran media yang begitu banyak ini membuat kita menjadi sosok yang hanya melihat pada permukaan saja, tanpa melihat kedalaman atau substansi. Kebingungan ini akan membawa kita pada sikap yang reaksioner, dan lemah analisis.  Ketika kita melihat jumlah media yang begitu banyak di negeri ini,kita harus mampu membaca, menganalisis, baru kemudian mengambil kesimpulan tentang pembacaan kita terhadap fakta media. Sebut aja pada tahun 2006 saja terdapat terdapat 251 penerbitan, 269 di tahun 2007, dan 290 di tahun 2008. Dengan banyaknya media yang luar biasa kita mendapatkan keuntungan pada satu sisi, tapi juga kekurangan di sisi yang lain.
            Dengan bertambah banyaknya media, kita bisa melihat bahwa masyarakat kita semakin sadar akan informasi, semakin melek baca, dan semakin peduli terhadap perkembangan informasi dan perkembangan dinamika di negerinya. Akan tetapi, pada sisi lain, masyarakat kita juga semakin bingung dengan berbagai informasi yang masuk, semakin bingung menanggapi peristiwa yang ada. Masyarakat menjadi bingung membaca diri mereka sendiri. Karena melalui berbagai pembacaan fakta media itulah masyarakat sulit mencerna informasi yang begitu riuh, dan simpang siur.
            Intervensi media yang hadir di suguhan kita sehari-hari tanpa sadar telah menjadikan kita manusia yang gagap terhadap informasi. Terlalu responsif dan reaksioner terhadap informasi. Akibatnya kita tidak bisa membaca manakah operasi intelejen?, manakah informasi yang merupakan fakta lapangan? Dan mana informasi yang menjerumus pada kebenaran. Hal ini wajar, karena setiap media punya pembacaan dan karakteristik yang berbeda-beda.
Membaca Media secara cerdas
            Hadirnya media cetak maupun elektronik di negeri ini yang begitu banyak, tidak membuat kita menjadi pribadi yang hilang, menjadi manusia yang terdekte media kalau kita mempunyai cara pandang membaca media.
            Ketika berbicara media, tentu kita tidak bisa melepaskan dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Semisal media cetak. Bagaimana kita membaca media cetak, elektronik, secara cerdas yaitu membaca secara kritis faktor-faktor yang melingkupi media tersebut.
            Pembacaan secara sederhana bisa dilihat dari bagan singkat berikut :
Koran/ media cetak - -  fakta media--rapat redaksi-- frame media ---ideologi--realita
            Ketika kita membaca koran atau media cetak, secara sederhana kita akan menemukan relasi-relasi diatas. Relasi-relasi tersebut sangat berpengaruh antara satu dengan yang lain. Dengan membaca media secara cerdas, maka kita akan menemukan fakta atau realitas sebenarnya berkaitan berita di lapangan.
            Semisal kita tahu koran A, kemudian kita mengenal relasi di rapat redaksi dengan mengenal pemilik koran tersebut, kita jadi tahu frame apa yang kemudian menjadi karakter media tersebut, kita juga akan mengetahui ideologi semacam apa yang berada di balik frame media tersebut, sehingga kita bisa menemukan fakta atau realitas semacam apa yang sering menjadi headline dalam media tersebut.
            Yang sering terjadi selama ini justru sebaliknya. Masyarakat kita tidak tahu bagaimana cara media bekerja membentuk opini publik. Masyarakat kita belum mengerti ada konspirasi media dengan pemodal misalnya yang membawa masyarakat kita kepada masyarakat kita yang hanya menjadi pengunyah informasi secara mentah.
            Dengan demikian, yang terjadi di masyarakat kita, semakin banyak media , semakin membuat mereka menerapkan pilihan media pada sisi material saja, tanpa memperhatikan sisi kualitas berita. Misalnya, para remaja lebih memilih majalah atau koran yang harganya murah, dan yang diminati seperti koran atau majalah fashion, hand phone, kecantikan, dan lain-lain.
            Ketika kita tidak mampu membaca media secara kritis, cerdas, dan analitis, yang terjadi adalah manusia yang gagap, manusia yang menjadi budak media. Kepungan media baru yang muncul tidak hanya menjadi belenggu bagi mereka, tapi juga menjadi monster yang menteror mereka dengan berbagai informasi dan mamnstream yang ada. Begitu.

Oleh Arif saifudin yudistira
Mahasiswa UMS, presidium Kawah Institute Indonesia



[1]           Yasraf amir piliang. Sebuah dunia yang dilipat, MIZAN APRIL 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar