Rabu, 21 Juli 2010

Gedung Kesenian Solo, Harapan yang Terancam



Kesenian di Solo berkembang sangat dinamis, beragam bentuk dan hasil karya seni yang digawangi oleh kaum muda telah ikut berperanserta dalam memperkaya dan meningkatkan citra Solo sebagai kota seni dan budaya. Untuk saat ini, khusunya pegiat maupun komunitas seni visual seperti halnya lukis, patung, film, fotografi, grafiti, desain dan kelompok kreatif lainnya telah lama mengalami pasang surut. Pada umumnya kelompok-kelompok seni ini masih berjalan secara bergerilya dengan segala keterbatasannya, baik dari segi jaringan, pendanaan, akses maupun ruang untuk mereka berkumpul dan bersosialisasi melalui karyanya. Banyak kegiatan yang diprakarsai oleh komunitas yang secara berlahan menghilang atau bahkan berhenti karena tidak adanya kerangka kerja yang subtainable serta dukungan inisiatif yang sama dari pihak lain. Hal ini sangat berbeda dengan bidang seni pertunjukan yang sudah menjadi ikon Solo dengan segala event spektakuler yang menghias Kota Bengawan.



Masih banyak bidang-bidang seni dan budaya yang masih terpinggirkan dan seolah keberadaanya hanya menjadi pelengkap. Tak hanya seni visual, beberapa kelompok seni musik, tari dan budaya anak muda seolah masih menjadi “masalah” bagi beberapa kalangan di Solo, meski diakui ataupun tidak, kelompok-kelompok seni ini keberadaanya memang ada di Kota Solo dan telah berhasil membawa nama baik sampai tingkat Internasional. Dari ketimpangan yang terjadi itulah kemudian Gedung Kesenian Solo (GKS) yang berdiri di bekas gedung Solo Theater Sriwedari mencoba menangkap dan merespon atas munculnya kegiatan-kegiatan kreatif dan dinamika anak muda di Solo.

Keberagaman kegiatan kesenian anak muda merupakan sebuah aset terpendam, untuk itulah GKS diharapkan bisa menjadi ruang untuk berproses dan berkembang secara bersama-sama dalam segala kegiatan khususnya seni berbasis anak muda di Solo. Dalam konsepnya GKS tidak hanya menjadi tempat fisik untuk memajang atau menilai baik-buruknya sebuah karya, namun juga dapat digunakan sebagai ruang sirkulasi antar kreator muda untuk saling berjejaring dengan lintas disiplin ilmu yang berbeda. Program-program yang bermuatan edukasi seperti klinik, workshop, diskusi dan pelatihan seni yang diadakan secara reguler diharapkan akan menjadi tempat belajar alternatif kesenian di Solo, selain itu dengan dibentuknya Pool of Knowledge dalam konteks seni dan budaya anak muda, GKS akan dapat menyediakan sumber-suber informasi dalam bentuk teks, gambar maupun video yang dapat diakses seluas-luasnya oleh publik.

Sebuah tindakan awal untuk merealisasikan semua gagasan tersebut terjadi ketika masih dalam nuansa Hari Pendidikan Nasional, pada tanggal 7 Mei 2010 lalu GKS menyatakan berdiri dengan menyelenggarakan event perdana babaRasa yang merupakan program rutin pameran dan bedah karya seni. Program-program reguler lain yang sudah diselenggarakan secara rutin sebulan sekali adalah program geraKomunitas yang berisi diskusi dan ngobrol bareng komunitas seni di Solo, Klik Klinik yang merupakan program pameran dan klinik fotografi serta program gagaSinema yang merupakan acara pemutaran dan diskusi film dengan filmakernya. Selain program-program reguler, GKS juga telah menjadi tempat penyelenggaraan beberapa acara yang bersifat eventual, seperti Jakarta International Film Festival 2010, sebagai venue II acara Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas 2010, Bancakan Seni Segara Gunung dan beberapa acara pameran serta diskusi seni yang diprakarsai oleh komuitas maupun mahasiswa di Solo.

Belum genap dua bulan usia GKS, dengan segala keterbatasan sarana dan fasilitas namun telah banyak program acara yang terselenggara atas peran dan kerjasama warga masyarakat khususnya kaum muda yang peduli pada pergerakan kesenian anak muda. Rencana pemerintah yang akan merobohkan Gedung Kesenian Solo juga telah merobohkan beberapa harapan anak muda yang semula tidak pernah mendapatkan ruang untuk berproses. Memang GKS tidak memprioritaskan sebagai tempat penyelenggaraan even besar, tetapi program-program rutin seminggu sekali yang dapat berjalan secara berkesinambungan diharapkan akan dapat memberdayakan kreativitas serta potensi-potensi (calon) seniaman muda untuk bisa bersaing dengan kota lain di belantika kesenian dunia sehingga istilah gerakan kesenian anak muda yang bersifat Obor-obor blarak tidak lagi terjadi. Solo butuh Gedung Kesenian yang dapat mengakomodir kepentingan anak muda dengan segala iklim serta karakter ruang yang melekat didalamnya, sehingga Solo Kreatif, Berbudaya dan Sejahtera bukan hanya slogan. (JN/GKS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar