Senin, 12 April 2010

Menjual Solo Lewat Film


Generasi sekarang merupakan generasi multimedia dimana informasi tanpa batas dapat diakses melalui jaringan layar monitor.
Didukung oleh berkembangya teknologi Audio Visual, setiap orang semakin mudah mendapatkan peralatan untuk membuat film, dari yang hanya menggunakan kamera HP, handycam maupun dengan peralatan kamera profesional.

Dengan komputer personal (PC) maupun laptop yang ada saat ini sudah cukup mampu digunakan untuk mengedit video, sehingga bisa dikatakan kebutuhan teknis untuk membuat film bukan sesuatu yang sulit lagi.

Banyak sumber belajar untuk bisa membuat film, dengan jejaring sosial facebook, tweeter, miling list atau lainnya terbukti secara efektif dapat untuk berkomunikasi dengan para pegiat film lain karena setiap orang dapat berinteraksi dan berkomunikasi dua arah bahkan banyak arah untuk mendapatkan sumber-sumber materi belajar tentang film. Selain dengan berjejaring didunia maya mengikuti forum diskusi dan pemutaran film yang dilakukan oleh komunitas bisa menjadi pilihan alternatif untuk belajar film, disamping belajar di dalam pendidikan formal.

Sejak munculnya ideom baru “bikin film itu mudah” pada tahun 2000 lalu, ada semacam tawaran bagi siapa saja untuk membuka ruang kreatifnya, khususnya buat generasi muda yang ingin mengemukakan pendapatnya melalui media film, hal ini tidak menutup kemungkinan bagi siapa saja untuk bereksplorasi dan menggunakan teknologi audio visual sebagai medium yang mewakili jati dirinya kedalam sebuah karya film sehingga anak muda yang dulunya hanya sekedar bisa menjadi penonton dan penikmat, kini menjadi pembuat.

Film merupakan salah satu media komunikasi, siapapun dapat dengan leluasa untuk memberi informasi kepada orang lain melalui media pandang-dengar ini, selain itu film dapat dijadikan sebagai media ekspresi untuk mengungkapkan gagasan dan pendapatnya, dari semua kegiatan ini akan menjadi sebuah dokumentasi penting untuk mencetak sejarah kehidupan sosial dan budaya di masanya. Film merupakan salah satu produk berbasis copyright, apabila diberdayakan secara optimal film dapat menjadi salah satu industri kreatif yang bisa menjadi sumber pendapatan bagi siapa saja yang terlibat di dalamya.

Komunitas film dan institusi pendidikan yang berbasis multimedia di Surakarta cukup banyak, dari sinilah akan terlahir sineas-sineas muda berbakat Dalam pemetaan komunitas film yang dilakukan Matakaca pada akhir tahun 2006, komunitas film mengalami pasang surut, banyak komunitas film muncul dan tenggelam hingga saat ini terdapat 12 komunitas film yang ada di Kota Solo. Komunitas tersebut terdiri dari 6 komunitas kampus (Kine Klub FISIP UNS, Kine Klub FISIP UMS, Kine Klub FISIP UNISRI, Kelompok Musik dan Film FSSR UNS, Unit Seni dan Film UMS, Masemar ISI) serta 6 komunitas non-kampus yang memproduksi film sambil menjalankan unit usaha audio visual.

Komunitas film di Solo mayoritas memiliki program kerja produksi dan apresiasi film, dengan memanfaatan pengetahuan serta peralatan yang ada para sineas telah banyak mengungkapkan ide dan gagasan ke dalam karya film pendek. Secara kuantitas memang produksi film pendek di Solo cukup banyak, tetapi usaha peningkatan kualitas karya untuk saat ini masih menjadi “pekerjaan rumah” sebagian besar filmaker.

Film pendek dapat dikategorikan sebagai film khusus, yang rata-rata memiliki durasi dibawah 30 menit, sebagai salah satu bentuk dari film Independen film jenis ini pada mulanya dibuat memang bukan untuk kepentingan komersial, film ini lebih dekat pergulatannya dengan orientasi individu maupun kelompok yang memposisikan film sebagai laboratorium kreatif dimana Film dijadikan sebagai wacana intelektual dan kebebasan berekspresi yang tidak dibelit oleh segala aturan-aturan yang ada dalam film mainstream, sehingga gagasan serta teknis dapat muncul secara segar karena lebih banyak mengangkat isu dan tema-tema lokal yang sederhana dengan cara bertutur lebih bebas dan unik.

“Tontonan telah menjadi tuntunan”, itu yang sering dikatakan banyak orang berkaitan dengan dampak film-film yang beredar di televisi maupun bioskop. Namun kritik serta umpatan saja tentu tidak akan mampu merubah apapun tanpa adanya tidakan yang nyata untuk mengimbangi laju industri film yang memang hanya untuk kepentingan komersial semata, oleh karena itu pemanfaatan media audiovisual yang “tepat guna” bagi kaum muda sangat dibutuhkan, hal itu bisa dimulai dengan memproduksi film pendek.

Kota Solo memiliki akar budaya yang cukup kuat, dari setiap unsur kebudayaan yang unik ini masih dapat diekplorasi lewat media audio visual. Dengan semakin banyaknya produksi film yang sarat dengan muatan lokal Solo, secara otomatis akan terlahir karya film yang berkarakter Solo dan kedepannya akan menjadi embrio filmaker Solo untuk bisa ikut serta mewarnai dunia industri kreatif di pasar global. Dengan itu semua diharapkan persepsi film Indonesia dengan gaya Elo dan Gue-nya Jakarta lambat laun akan bergeser menjadi film Indonesia dengan segala keberagaman bahasa dan budayanya.

Bertolak dari produksi film pendek sangat mungkin bisa dijadikan sebagai satu pijakan awal untuk bisa ”Menjual Solo” dalam bentuk produk budaya populer yang memiliki nilai edukasi ke pasar global. Tumbuhnya kesadaran komunitas film di Solo untuk mau memperkuat jaringan dengan dunia luar merupakan sebuah kemajuan yang cukup berarti karena dengan demikian telah dan akan semakin banyak dialog yang dilakukan komunitas film dengan komunitas film lain ditingkat nasional. Sedangkan di tingkat lokal sendiri, pemutaran dan diskusi film yang sering dilakukan komunitas film merupakan sarana komunikasi efektif antara filmaker, penonton, pengamat dan pegiat film, hal ini juga merupakan momen penting untuk dapat mendistribusikan karya film di tingkat lokal.

Untuk masalah distribusi film, selain filmaker dapat memajang karya-karyanya di dunia maya, mengikuti festival film juga dapat dijadikan jalur untuk mendistribusikan film dari Solo. Sebagai salah satu ruang perayaan bagi filmmaker untuk memamerkan karya-karya terbaiknya di depan publik yang lebih luas, festival film saat ini semakin banyak diselenggarakan di Indonesia baik dari tingkat lokal, nasional maupun internasional. Dengan menjamurnya festival-festival film itulah, tidak menutup kemungkinan film-film yang diproduksi oleh para sineas Surakarta akan memiliki banyak peluang untuk bisa ditonton, dinikmati, diapresiasi dan selanjutnya ”dibeli”. Dengan dukungan pemerintah, swasta dan masyarakat Solo niscaya ”Solo Kreatif, Berbudaya dan Sejahtera” akan benar-benar terwujud.
Joko Narimo
Programer GKS

1 komentar: